Ketika menulis, buah pikiran maupun gagasan bisa disampaikan dengan beragam cara. Bisa disampaikan secara gamblang atau tersurat melalui serangkaian essai atau karya ilmiah, bisa juga diekspresikan secara tersirat dengan mengandalkan karya fiksi berupa puisi maupun prosa. Adapun salah satu cara berkisah melalui fiksi yang paling banyak digemari adalah membuat cerita pendek alias cerpen. Karena itulah, pada artikel kali ini, akan disuguhkan 27 Cerpen Persahabatan Terbaik yang Penuh Makna, bahkan lebih, yang diharapkan bisa diandalkan sebagai bahan pembelajaran sekaligus menginspirasi.
Namun, sebelum menginjak pada pembahasan utama, mari memulai dengan hal dasar, yakni terkait dengan pengertian, jenis-jenis, ciri-ciri dan teknik dasar membuat cerpen. Ketika berangkat dari permulaan, diharapkan lebih memudahkan dalam pembelajaran. Dengan begitu, siapa saja jadi lebih cepat dalam memahami contoh, bahkan segera percaya diri melakukan simulasi, yakni membuat cerpen karangan sendiri.
Pengertian Cerpen
Pengertian Cerpen Secara Umum
Cerita pendek atau Cerpen termasuk karya sastra jenis prosa naratif fiktif. Prosa, artinya tidak menggunakan kata-kata yang singkat dan puitif. Sementara natarif artinya tulisan disampaikan dengan gaya bercerita, dan fiktif artinya sifatnya tidak nyata, berupa karangan atau khayalan, sifatnya tidak ilmiah.
Dari sifat fiksi ini, nantinya akan muncul jenis-jenis cerpen dengan beberapa genre misalnya fiksi ilmiah, fiksi detektif, fiksi horror dan lain sebagainya. Meski begitu, para akrangan kontemporer, cerpen juga bisa berupa non fiksi. Di antara contoh jenis cerpen non fiksi yakni catatan perjalanan, prosa lirik, jurnalisme baru, feature dan yang lainnya.
Cerpen merupakan salah satu teknik merangkai cerita singkat dan padat dan biasanya fokus pada satu pesan. Rangkaian kata pada cerpen kebanyakan dibuat akrobatik dengan diksi yang variatif, sehingga pembaca akan terpuaskan, bukan hanya pada jalan dan pesan ceritanya, tapi juga pada gaya penceritaanya.
Pengertian Cerpen Menurut Para Ahli dan Praktisi
Untuk lebih memudahkan dalam memahami pengertian cerpen, mari simak pemamaran para ahli dan praktisi dalam memahami cerpen.
Cerpen merupakan cerita yang mengandung arti tuturan mengenai bagaimana sesuatu hal terjadi. Sifatnya relatif pendek yang artinya kisah yang diceritakan pendek atau tidak lebih dari 10.000 kata. Cerpen memberikan sebuah kesan dominan serta memusatkan hanya pada satu tokoh saja dalam cerita pendek tersebut. – Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) –
Cerpen merupakan cerita yang hanya terfokus serta menjurus pada satu peristiwa saja. – J.S. Badudu –
Cerpen adalah sebuah cerita singkat yang harus memiliki bagian terpenting. Bagian-bagian tersebut di antaranya perkenalan, pertikaian, serta penyelesaian. – H.B Jassin –
Cerpen merupakan cerita fiktif atau cerita yang tidak benar-benar terjadi, tetapi bisa saja terjadi kapan pun serta di mana pun. Ceritanya pun relatif pendek dan singkat. – Sumardjo dan Saini –
Cerpen adalah sebuah cerita yang panjang ceritanya berkisar 5000 kata atau perkiraan hanya 17 halaman kuarto spasi rangkap serta terpusat pada dirinya sendiri. – Nugroho Notosusanto dalam Tarigan –
Cerpen ialah suatu karangan yang berkisah pendek yang mengandung kisahan tungal. – Hendy –
Cerpen adalah salah satu karangan fiksi yang biasa disebut juga dengan kisahan prosa pendek. – Aoh. K.H –
Berdasarkan informasi yang terpapar di atas, dapat disimpulkan bahwa cerpen adalah karangan prosa fiksi yang inti ceritanya berfokus pada satu isu atau satu tokoh saja. Adapun panjang tulisan tidak lebih dari 5 ribu hingga 10 ribu kata. Untuk gambaran singkatnya cerpen, pembaca bisa menakarnya jika ia bisa tamat dibaca dalam sekali duduk.
Ciri-Ciri Cerpen
Dari sejumlah pemaparan tentang pengertian cerpen, jelaslah bahwa karangan ini memiliki ciri-ciri yang membedakannya dengan karya lainnya. Adapun ciri-ciri cerpen di antaranya:
- Memiliki satu pesan khusus dan berpusat pada satu tokoh dan satu situasi saja.
- Alur cerita kebanyakan bersifat tunggal dan lurus.
- Penokohan tidak sekompleks pada novel, menyesuaikan dengan situasi, konflik, penyelesaian dan pesan yang ingin disampaikan.
- Tokoh pada cerpen bisa berupa orang, atau binatang, tumbuhan dan benda-benda lainnya yang dipersonifikasi. Maksudnya, tokoh-tokoh tersebut seolah-olah bisa bertingkah seperti manusia meski di kehidupan nyata tidak begitu.
- Memiliki panjang tulisan yang relatif pendek, kurang dari 10 ribu kata atau kurang dari 10 halaman saja.
- Menggunakan kata-kata yang akrobatik, di mana terdapat pemilihan fiksi yang cerdas, tapi tetap mudah dimengerti pembaca.
- Dirangkai berdasarkan struktur yang terdiri dari Abstrak, Orientasi, Komplikasi, Evaluasi, Resolusi dan Koda. Untuk penjelasan lebih rinci akan dibahas pada uraian selanjutnya.
Jenis-Jenis Cerpen
Setiap kepala akan melahirkan ide dan gagasan yang berbeda ketika melahirkan sebuah karya. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai penyebab, misalnya karakter, passion atau latar belakang dan lingkungan penulis. Makanya, ruang lingkup cerpen begitu dinamis dan tidak terpatok pada konsep-konsep teoritis. Kedinamisan tersebut lantas melahirkan klasifikasi cerpen yang berpeluang ditulis. Adapun jenis-jenis cerpen bisa dibedakan berdasarkan kriteria tertentu. Untuk penjelasan selengkapnya, mari simak uraian berikut ini:
1. Jenis-Jenis Cerpen Berdasarkan Panjang Naskahnya:
– Cerpen Mini, yakni cerpen yang ditulis dengan jumlah kata antara 750 hingga seribu kata.
– Cerpen Ideal atau lengkap, yakni cerpen yang ditulis dengan jumlah kata antara 3-4 ribu kata.
– Cerpen Panjang, yakni cerpen yang ditulis dengan jumlah kata lebih dari 4 ribu kata dan kurang dari 10 ribu kata.
2. Jenis-Jenis Cerpen Berdasarkan Teknik Penulisannya:
– Cerpen Sempurna atau Well Made Short Story, merupakan salah satu jenis cerpen konvensional yang berlandaskan pada logika dan fakta. Adapun teknik penulisan cerpen yakni berfokus pada satu tema, memiliki alur cerita yang jelas serta penyelesaian atau endingnya mudah dipahami.
– Cerpen Tidak Utuh atau Slice of Life Short Story, merupakan cerpen berjenis kontemporer di mana cerita dirancang berdasarkan ide yang original dan spontan. Adapun teknis penulisannya yakni random atau berpencar, di mana penulis tidak berfokus pada satu tema. Demikian pula dengan plot atau alur ceritanya yang tampak tak tertara serta akhir cerita terasa mengambang.
Struktur Cerpen
Meski termauk ke dalam karya tulis singkat, cerpen gaya konvensional memiliki strutur yang bisa menjadi acuan dalam membantu kerunutan menulis. Struktur cerpen menjadi batasan secara teknis, tapi tidak perlu jadi mempengaruhi kreativitas penulis ketika tengah mengekplorasi gagasan. Adapun struktur cerpen di antaranya:
1. Abstrak
Abstrak merupakan gambaran awal cerita yang menjadi semacam resume atau inti sari cerita. Meski begitu, sebagai pengawal cerita, ia tetap harus mengundang rasa penasaran pembaca serta tidak perlu membocorkan kesimpulan cerita secara keseluruhan.
Ia semacam kalimat pembuka yang dirangkai oleh peristiwa yang membuat pembaca ingin membaca lebih lanjut. Abstrak tidak melulu harus ada. Artinya, sifatnya opsional, boleh disertakan dalam struktur cerpen, boleh juga tidak.
2. Orientasi
Orientasi merupakan bagian pengenalan, di mana penulis menceritakan salah satu aspek seperti waktu, suasana, tempat, tokoh atau unsur lainnya, sehingga pembaca jadi punya arahan pemahaman. Sebagai pengenalan, sifatnya juga diusahakan menarik dan mengundang rasa penasaran pembaca untuk beranjak ke paragraf selanjutnya.
3. Komplikasi
Struktur cerpen yang selanjutnya adalah komplikasi. Di dalamnya berisi serangkaian peristiwa atau kejadian yang dihubungkan dengan pola sebab-akibat. Peristiwa tersebut bisa terjadi di latar dan setting tertentu, bisa juga terjadi di pikiran tokoh. Pada bagian ini, situasi digambarkan pelik, sementara karakter tokoh dijabarkan secara gamblang dalam merespons masalah.
4. Evaluasi dan Resolusi
Pada bagian ini, evaluasi merupakan respons dari komplikasi berupa jalan penyelesaian yang mengarah pada klimaks. Sejumlah langkah solusi mulai diceritakan pada bagian ini.
5. Koda
Koda merupakan bagian akhir dalam cerpen yang memuat kesimpulan dari keseluruhan isi cerita. Pada bagian ini dipaparkan nilai atau pelajaran dari cerita secara tersirat maupun tersurat.
Langkah Teknis Membuat Cerpen Khusus Pemula
Mari jangan hanya berkutat pada ranah teoritis. Segeralah mengambil pena, atau membuka laptop, lantas segera memulai menulis naskah cerpen. Kunci menjadi cerpenis andal ialah ketika seorang penulis tidak membuarkan ide-idenya hanya berkeliaran lalu menguap di kepala. Justru ketika ide dan gagasan datang, harus segera ditangkap, direspons dan dituliskan agar menjadi sebuah karya nyata.
Jika masih bingung bagaimana memulainya, berikut ini tersaji sejumlah tips dan petunjuk teknis membuat cerpen untuk pemula. Mari simak uraian berikut ini:
1. Membekali Pengetahuan Tentang Unsur-Unsur Cerpen
Hal teoritis terkait cerpen perlu dikantongi sebagai bekal dan pengetahuan, sehingga penulis bisa segera membuat karya secara terarah. Jangan sampai pembuatan cerpen dilakukan secara serampangan, tapi malah membuat pembaca jadi kebingungan.
Ketika ingin mulai membuat cerpen, mula-mula penulis harus membekali pengetahuan tentang unsur-unsur cerpen. Nantinya, unsur-unsur tersebut bisa dihadirkan ke dalam isi cerita dalam penematan yang pas. Pada dasarnya, terdapat dua unsur dalam cerpen yakni unsur intrinsik alias unsur yang terdapat di dalam cerita dan merupakan komponen penting pembentuk cerpen.
Unsur intrinsik terdiri dari tema, alur atau jalan cerita, latar atau temat terjadinya peristiwa, perwatakan tokoh serta nilai yang terkandung dalam cerita. Unsur-unsur ini merupakan bagian yang terdapat dalam struktur cerpen yang telah dibahas sebelumnya.
Sementara itu, unsur ekstrinsik merupakan unsur yang ada di luar cerpen, mencakup latar belakang penulis, situasi ketika menulis, serta kondisi-kondisi lingkungan yang mempengaruhi penulis untuk membuat cerita tertentu.
2. Menetapkan Tema
Tema merupakan ide pokok dari sebuah cerita. Setelah menetapkan tema, penulis akan memiliki acuan dasar dalam menulis judul dan cerita secara spesifik. Misalnya, ketika penulis menetapkan tema tentang sosial, maka isi ceritanya akan berkaitan dengan isu-isu sosial yang sedang hangat di masyarakat. Misalnya isu tentang pembebasan lahan maupun isu kemiskinan.
Meski begitu, pemilihan tema tidak harus selalu rumit. Justru penulis punya kedaulatan sepenuhnya untuk memilih tema yang sesuai dengan pengetahuan dan kemampuannya. Tema tersebut bahkan bisa dekat dengan keseharian. Jika penulis masih berusia mudah dan berstatus sebagai pelajar, tema yang bisa dipilih bisa tentang pendidikan, cinta dan persahabatan.
3. Menentukan Penokohan dan Watak
Setiap cerita pasti memiliki tokoh-tokoh yang mengambil peran dalam keberjalanan cerita. Ketika ingin membangun cerpen, penulis harus sudah memiliki gambaran tentang sejumlah tokoh yang ingin diciptakan. Setiap tokoh dibekali perwatakan yang ditunjukkan dalam sejumlah narasi, deskripsi fisik serta dialog. Di antara jenis-jenis penokohan yang terdapat dalam cerpen di antaranya:
– Tokoh Protagonis yakni tokoh utama yang bisasanya berkarakter positif. Dalam cerita, penulis berpihak pada tokoh tersebut.
– Tokoh Antagonis, merupakan lawan atau penetang tokoh utama. Biasanya memiliki watak yang berkebalikan dengan tokoh protagonis.
– Tokoh Tritagonis, yakni tokoh yang posisinya sebagai penengah antara tokoh utama dan tokoh antagonis.
4. Menentukan Alur Cerita
Alur atau jalan cerita harus direncanakan sejak awal sehingga penulis bisa secara apik menyisipkan serangkaian pesan dan gagasan dari cerita. Alur cerita dalam cerpen dibagi menjadi tiga macam yakni:
– Alur Maju, merupakan serangkaian peristiwa yang urutannya sesuai dengan waktu kejadian yang bergerak maju ke depan.
– Alur Mundur, merupakan kebalikan dari alur maju, di mana di dalamnya terdapat serangkaian peristiwa yang dimulai di akhir, lalu diceritakan secara kilas balik (flash back).
– Alur Campuran, merupakan gabungan antara alur maju dan mundur. Dalam hal ini, penulis merangkai cerita sehingga dalam satu adegan, pembaca dibawa ke akhir cerita, dan di adegan selanjutnya kembali lagi ka awal maupun pertengahan, lalu kembali lagi ke akhir.
Dalam teknik ini, dibutuhkan kemampuan penulis untuk merangkai kata secara jelas sehingga pembaca tidak kebingungan. Dalam penulisan alir, penulis harus memperhatikan beberapa tahap penulisan yang menggunakan struktur cerpen sebagai acuan.
5. Mulailah Menulis
Jangan berlama-lama berkutat pada hal teoritis, tapi bersegeralah menuju latihan dan praktik. Untuk memulainya, segeralah memakai “Topi Kreatif” di mana penulis jangan dulu memikirkan soal teknis, teori dan acuan teoritis lainnya. Sebaliknya, mulailah dengan brainstorming atau curah gagasan, yakni penulis bisa berfokus pada perangkaian gagasan dan menuruti apa yang dipikirkannya. Dalam proses brainstorming, jangan sekali-kali memperhatikan EYD, bagian yang terlupakan, atau pengeditan lainnya.
Setelah selesai curah gagasan, penulis bisa merasa lega karena telah memiliki naskah yang siap diedit. Barulah di tahap editing ini, penulis menggunakan “Topi Editor”, yakni penulis melakukan auto kritik terhadap tulisannya sendiri. Di bagian pengeditan, penulis bisa menambahkan bagian-bagian yang terlupa, serta membenarkan apa yang salah dari segi teknis.
Setelah semua tahap tadi terlewati, jangan lupa melakukan pembacaan ulang. Dalam hal ini, penulis berposisi sebagai pembaca yang mulai menelaah, apakah naskah yang ia tulis bisa dimengerti oleh pembaca. Di tahap ini penulis bisa melakukan tahap penyempurnaan hingga kemudian bisa merasa percaya diri ketika membagikan cerpennya kepada pembaca.
Setelah menyimak pembahasan panjang lebar di atas, mari kita beranjak pada pembahasan inti, yakni menampilkan 27 Cerpen Persahabatan Terbaik yang Penuh Makna. Seperti diketahui, tema peprsahabatan memang selalu menarik untuk segala usia, serta memiliki cakupan yang luas. Persahabatan merupakan jalinan tulus dan tidak perlu menggunakan alasan spesifik ketika dijalin.
Maksudnya, seseorang tidak perlu harus menjadi saudara atau rekan kerja dulu ketika ingin menjadi sahabat. Justru ketika terjadi kecocokan dari segi hobi, pola pikir, perasaan dan yang lainnya, persahabatan bisa terjadi begitu saja, untuk kemudian pelakunya bisa saling mendukung dan menerima satu sama lain.
Sekilas informasi, sebagian besar cerpen yang nantinya akan ditampilkan ditulis oleh Sonia Fitri, seorang mantan jurnalis dan editor di salah satu perusahaan swasta nasional. Selain masih aktif menjadi penulis lepas, saat ini ia sibuk menjadi ibu rumah tangga dan juga tercatat sebagai salah satu pengajar di SMP Darunnazah, Subang, Jawa Barat. Cerpen-cerpen yang akan ditampilkan ini ditulis sejak penulis duduk di bangku perkuliahan pada 2009.
Beberapa cerpen juga datang dari para cerpenis muda kreatif yang merupakan santri di Pondok Pesantren Kumala Lestari Cianjur, Jawa Barat. Semoga cerpen-cerpen yang ditampilkan bisa dibaca dan diapresiasi secara layak, serta menjadi bahan pembelajaran yang bermanfaat sekaligus menginspirasi bagi pembaca sekalian.
27 Cerpen Persahabatan Terbaik yang Penuh Makna
Cerpen 1: Piala
Oleh: Sonia Fitri
Senja tampak bersahaja ketika Kuaci berlari tergesa-gesa menuju kebun sekolah. Sepanjang jalan, angina semilir mengantarkan langkahnya yang ceria. Kala itu, Kuaci memang sedang membawa suasana hati yang luar biasa baik. Di dalam pikirannya, ia menduga Kapsul, sahabatnya, pasti sudah tak sabar mendengar berita bahagia yang baru saja menimpanya.
“Ohh … sungguh langit begitu cerah hari ini,” gumam Kuaci dengan senyum dan wajah yang sumringah. Sebuah piala setinggi lutut masih digenggamnya erat-erat ketika ia sampai di tujuan, yakni kebun sekolah.
Ini merupakan lokasi favorit sekaligus markas bagi sepasang sahabat bernama Kuaci dan Kapsul. Sekilas informasi, Kuaci oleh orang tuanya diberi nama Kirana Amalia. Tapi kemudian ia lebih akrab dipanggil Kuaci oleh sahabat dekatnya, sebab perawakannya yang mungil dan hobinya yang memang suka makan Kuaci.
Sementara Kapsul pun hanyalah nama panggilan belaka. Nama asli pemberian orang tuanya adalah Syamsul Arifin, tapi hingga detik ini, masih tanda tanya mengapa pada akhirnya ia dipanggil dengan sebutan “Kapsul”.
Sesampainya di kebun sekolah, Kuaci mendapati Kapsul sedang tertidur di bangku kayu tua yang memang sudah ada di sana entah sejak kapan. Tangan Kapsul menggenggam botol minum berisi air teh yang tinggal seperempat. Kelihatannya ia kelelahan dan tidurnya sangat pulas.
Tak sabar, Kuaci mengguncang-guncangkan tubuh kapsul yang lunglai. Perlahan mata Kapsul terbuka dengan malas. Di hadapannya, ia melihat Kuaci, sahabatnya, tersenyum sangat lebar.
“Ci, ngapain sih! Ngeganggu kedamaian hidup orang aja!” Kapsul mengomel sambil masih mengumpulkan nyawa.
“Lihat, Sul! Piala!!! Piala!!! Aku juara Sul!!!” Kuaci terlihat girang. Sepertinya luapan rasa bangga sedang coba ia muntahkan bulat-bulat ke wajah Kapsul.
“Ohh …. iya iya keren,” sahut Kapsul dengan nada super datar. Tapi di hati kecilnya, ia merasa bahwa Kuaci terlalu berlebihan dengan kebanggaan yang ditunjukkan. Bukan karena ia iri. Justru karena Kuaci sahabatnya, kapsul pikir, ia seharusnya tidak berlebihan menyambut bahagia.
“Kok responnya gitu?!!” Kuaci cemberut. Kapsul memang tak peka. Seharusnya Kapsul menyambut kebahagiaan yang tengah ia rasa.
“Terus harus gimana, Ci?” tanya Kapsul polos.
Huh, Kuaci sebenarnya sudah hapal betul tabiat sahabatnya itu. Selain kurang peka, Kapsul bukan orang yang senang berbasa-basi, apalagi mengobral puji. Langit masih cerah, dan Kuaci tak mau merusak suasana hatinya hanya karena respon Kapsul yang di luar harapan. Keberhasilannya dalam lomba sajak kemarin tentu saja membanggakan. Ia berhasil mengalahkan lebih dari 100 peserta, dan didaulat menjadi nomor satu.
Tapi, apa yang terjadi setelah itu? Apakah ada keajaiban setelah si piala berada di genggamannya? Mungkin wartawan sekolah akan datang untuk mewawancarai, lalu membuat artikel tentang sang juara. Beberapa bahkan menyodorkan diri untuk diwawancara, agar momen kemenangannya diabadikan oleh media massa. Uang hadiah yang ia terima akan habis hari itu juga, karena dipakai untuk traktir teman-teman sekelasnya.
Lalu, kehidupannya akan kembali berjalan seperti biasanya: bermain dan belajar sebagaimana remaja pada umumnya. Piala itu hanya akan jadi pajangan yang membisu. Terpenjara dalam lemari kaca, atau tersimpan rapi di atas lemari, bersama debu-debu. Paling-paling gunanya hanya untuk dilirik dengan bangga, dan sesekali dipamerkan kepada siapa saja yang bertanya.
Sikap Kapsul barusan mengingatkannya agar jangan terlalu berlebihan dalam menyikapi keberhasilan yang bersifat sementara. Tak perlu terobsesi dengan penghargaan dan pujian dari manusia. Karena jika sudah terlena, kita yang malah akan rugi karena telah membuat lelah hati sendiri, apabila pujian dan penghargaan itu tak sesuai dengan yang kita harapkan. Lagi pula, pujian dari manusia tak akan membuatnya kaya raya. Biasa sajalah!
Apakah bukti keberhasilan? Apakah bisa dijawab dengan tumpukan sertifikat, piagam penghargaan, serta deretan piala yang berkilauan? Jawabannya bisa ya, dan bisa juga tidak. Berhasil adalah sebuah proses pencapaian sebuah tujuan. Dalam lomba sajak ini, misalnya. Seorang peserta dikatakan berhasil bila ia dapat memperoleh skor tertinggi, baik pada babak penyisihan, pun di babak final. Maka, sudah menjadi kelaziman bagi masing-masing peserta untuk berusaha semaksimal mungkin, mempersiapkan diri agar saat kompetisi berlangsung, mereka dapat menjawab tuntutan dan kriteria dewan juri dengan mantap.
Ia menatap Kapsul yang sudah kembali terlelap. Lalu kembali menatap pialanya yang berkilauan. Dalam heningya kebun sekolah, ia meneruskan renungannya. Semua orang berlomba-lomba mendapatkan piala. Kita semua berusaha sekuat tenaga mendapatkan pengakuan dari orang-orang sekitar, dan salah satu cara yang dirasa paling elegan adalah dengan berusaha mendapatkan piala. Segala jenis piala selalu berharga di mata orang-orang yang memperebutkannya. Dari mulai piala lomba balap karung tingkat RT, sampai piala dunia sepak bola. Tapi sering kali para pengejarnya menodai nilai dari piala itu. Mereka sering enggan melalui proses dan kerja keras. Mereka mencari jalan pintas untuk mendapatkan pialanya. Maka dari itu, muncullah istilah: curang, suap, gengsi, curiga, dan saling iri.
Piala pun jadi menyeramkan, karena keberadaannya malah menginspirasi orang untuk merusak kesehatan jiwanya sendiri. Kuaci sepakat, bahwa semua orang pantas berusaha untuk tujuan yang ingin dicapainya, untuk pialanya. Bukankah Tuhan pun menyuruh manusia untuk berlomba-lomba dalam kebaikan? Ini berarti, orang yang berusaha dan berprestasi dengan jalan kebaikan, akan menyenangkan Tuhan. Tapi, jalan kebaikan selalu dibarengi ujian. Kita harus berhati-hati agar setiap upaya yang kita lakukan dalam rangka mendapatkan piala itu, tidak dinodai dengan perilaku curang. Tuhan sudah memperingatkan, bahwa kecelakaan akan datang kepada mereka yang curang. Tiba-tiba Kuaci merinding. Ia tak mau jadi bagian dari orang-orang yang celaka itu.
“Tuhan, dengan rasa sayang-Mu yang luar biasa terhadap setiap hamba, saya percaya bahwa Engkau selalu memberi jalan kemenangan dan keberhasilan di hidup saya, hidup sahabat saya, Kapsul, serta hidup setiap hamba-hamba yang begitu engkau sayangi. Entah kriterianya apa, saya belum terlalu paham saat ini. Saya pun sering bersikap bodoh dan berpaling kepada selain-Mu. Tapi Engkau masih saja memberi nafas dan degup jantung. Agar saya selalu punya kesempatan memeroleh Ridho-Mu, kemenangan-Mu”.
***
“Hei! Kapsul! Bangun … bangun!!!” Kuaci mengguncang-guncangkan tubuh Kapsul lagi. Kali ini, dia berniat mengganggu.
Kapsul perlahan membuka matanya. Ia beringsut sambil merengut. Lalu terpancing kesal.
“Aih … kamu kenapa lagi sih?!!”
“Sekarang bangun, duduk, dan dengarkan saya sebentar!”
Dengan sabar, Kapsul menepis rasa kantuknya. Susah payah dia mengumpulkan nyawa, dan segera menuruti instruksi sahabatnya. Ia tak ingin mengeluh, apalagi menggerutu, meski ia sangat sangat mengantuk. Semalam ia keasyikan nonton DVD, sampai-sampai baru tidur jam tiga pagi.
Kuaci memang suka memaksa. Sedangkan seorang Kapsul yang agak keras kepala, paling tidak bisa mengizinkan siapa pun memaksanya. Tapi, mengapa mereka masih menjadi sahabat sampai hari ini? Rupanya sifat dan perilaku yang bertolak belakang malah bisa menjadi penguat sebuah hubungan. Hati Kapsul mengizinkan, jika yang memaksanya adalah seorang Kuaci. Hanya Kuaci.
“Sul, pialanya Tuhan, apakah itu surga?” Kuaci bertanya setelah ia yakin Kapsul sadar sepenuhnya.
Kapsul terdiam sejenak. Tidak menyangka Kuaci menanyakan hal macam begini. Padahal baru beberapa menit yang lalu ia memamerkan piala yang ada di genggamannya. Beberapa menit yang lalu pula, Kapsul tak begitu nyaman dengan ekspresi muka Kuaci yang kelihatannya kelewat bangga.
“Ayo cepat jawab saja!”
“Pialanya Tuhan pasti lebih agung dari pada surga.”
“Apa pun itu, kita layak memperjuangkannya.”
Lalu hening meliputi mereka berdua. Sejenak tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Kelihatannya sedang merenungi dosa-dosa di masa silam.
“Ngomong-ngomong, mau diapakan ini piala?”
Kapsul mengucek-ngucek matanya. Lalu tersenyum nakal.
“Kita gantung di pohon rambutan belakang rumah kamu, Ci, pake tali rapia?”
“Ide bagus!!!”
-Bandung, 26102013–
Cerpen 2: Ketika Kuaci Jatuh Cinta
Oleh: Sonia Fitri
“SUL, apakah cinta mesti diungkapkan?”
“Bisa ya, dan bisa juga enggak.”
“Maksudnya?”
“Ya, karena segala sesuatu yang sengaja ditahan gak akan baik dampaknya. Coba aja kalo kamu pengen pipis, terus kamu tahan-tahan sampe dua hari. Nah, lama-kelamaan kamu bisa sakit kencing batu,” kata Kapsul kalem.
“Ya ya ya, logis. Terus? Yang enggak, gimana?”
“Enggak mesti, karena semua orang punya pertimbangannya masing-masing, apakah dia mau bilang cinta atau enggak. Itu semua mesti dihargai.”
“Ah, kamu gak jelas!”
“Keputusan untuk menahan dan mengungkapkan perasaan, itu kan urusan masing-masing orang, Ci!”
“Jawaban kamu nggak ngebantu sama sekali!”
“Gitu ya, hehe ….”
***
Kapsul masih menatap punggung Kuaci yang mulai menjauh pergi. Tangannya menggenggam sepucuk surat yang dibungkus syal warna oranye. Beberapa menit yang lalu, gadis itu mengajaknya ke perpustakaan, untuk mendampinginya bertemu dengan kakak senior yang sedang ditaksirnya. Kapsul menolaknya dengan alasan “Markas saya bukan di perpus, tapi di kebun”. Kuaci pun tak mau terlalu sering memaksa sahabatnya. Ia memberanikan diri menghadap sang pujaan hati, sendirian.
“Doain aja deh, biar lancar, ya, Sul!”
Sosok Kuaci telah hilang di balik gerbang kebun sekolah. Sementara itu, Kapsul menghela nafas. Ia tak menyangka, Kuaci akhirnya jatuh cinta. “Waktu memang mengubah kita dengan cepat,” pikir Kapsul. Ya, tadinya kita hanya bocah-bocah yang mengenal bentuk-bentuk huruf untuk dieja. Setelah itu, kita belajar bagaimana rangkaian huruf-huruf itu berubah menjadi kata, kata menjadi kalimat, dan kalimat membentuk suatu paragraf. Lalu paragraf menjadi esei, cerpen, catatan sejarah, dan novel—karya tulis.
Kita sebagai pembaca pun jadi tahu gagasan dan informasi yang ada di kepala para penulis. Beberapa dari kita kemudian mencoba menjadi pelaku. Kita mulai membahasakan apa yang ada di pikiran kita, menuangkannya dalam bentuk tulisan, lalu berbagi pikiran yang tertulis itu pada pembaca.
Tadinya kita hanya sekelompok anak yang diberi tahu, bahwa yang berbentuk seperti tongkat disebut angka satu, yang berbentuk seperti kuping monyet disebut angka tiga, dan yang seperti telur adalah angka nol. Lalu sebagian dari kita mendebatkan mengapa satu ditambah satu sama dengan dua, sampai kemudian kita belajar berpikir logis lewat pelajaran matematika.
C-I-N-T-A, Kapsul mengeja kata yang saat ini sedang dirasa sahabatnya. Dulu, baik Kapsul maupun Kuaci mengeja kata ini tanpa merasakan apa-apa. Bahkan ketika masih bocah, Kapsul selalu merasa kata-kata seperti ini terdengar konyol. Orang-orang dewasa mengisahkan tentang cinta di televisi dan novel-novel romantis, tapi semuanya terasa menggelikan. Lalu waktu perlahan mengantarkannya, juga sahabatnya, untuk menjadi remaja, lalu merasakan cinta.
Sejak awal, ia menjadi saksi seorang Kuaci yang sedang jatuh cinta. Kelihatannya konyol melihat Kuaci yang panik, malu, dan bertingkah aneh karena cinta. Tapi, Kapsul tak boleh mencela atas perasaan yang saat ini tengah dirasakan Kuaci. Toh, perasaan cinta merupakan kelaziman dan fitrah manusia.
Ketika Kuaci jatuh cinta, Kapsul mendadak jadi orang paling sibuk sedunia. Kapsul sibuk mendengarkan curhatan-curhatan Kuaci yang kadang memakan waktu hampir sepanjang hari, pun sibuk mendengar keluhan-keluhannya, luapan perasaannya, juga segala informasi tentang sang pujaan hati. Kapsul juga harus rela berpikir bagaimana menanggapi cerita-cerita yang terdengar aneh itu, pun harus memberi masukan yang keren jika diminta. Orang jatuh cinta seringkali berlaku setengah gila.
Lelaki yang disukainya, ialah senior mereka di sekolah. Namanya Arian. Dia ceking, berkaca mata, pintar, pendiam, rajin membaca, dan sedikit aneh. Karenanya, keberadannya hampir tidak disadari oleh semua orang di sekolah ini. Teman-teman sekelas yang memang tak terlalu dekat dengannya bahkan menyebutnya culun, tidak populer, kutu buku, dan bagi mereka yang masuk golongan usil kerap mengatainya dengan sebutan “jurig” perpus.
Dari Kuaci, Kapsul tahu bahwa setiap hari, Arian menghabiskan waktu senggang di perpustakaan sekolah. Kuaci mengetahui informasi “penting” itu dari Bu Wahani, petugas penjaga perpustakaan. Dari Bu Wahani pula—yang kemudian disampaikan kepada Kapsul—Kuaci tahu kalau Arian tak mengenal kantin, lapangan basket, atau tempat nongkrong.
Dunianya di sekolah berkutat antara ruang kelas dan perpustakaan. Ia sudah membaca hampir seluruh buku yang ada di perpustakaan. Bahkan, ia sering membantu Bu Wahani merapikan buku, mencatat daftar pengunjung, atau mendata buku yang dipinjam maupun yang dikembalikan.
Arian sudah hapal betul peta perpustakaan. Ia tahu bahwa rak sebelah kanan adalah area buku-buku sejarah, dan rak sebelah kiri didominasi buku-buku ensiklopedi. Sangat jauh berbeda dengan Kuaci yang lebih sering menghabiskan waktu di meja redaksi, di sekretariat Pandupena, bersama rekan-rekan persnya.
Lalu, bagaimana mereka bertemu?
Di perpustakaan, mereka bertemu. Awalnya begini. Kuaci diberi tugas oleh Pemred Pandupena, untuk meliput perpustakaan sekolah. Di sanalah ia menemukan Arian yang tersembunyi di balik tumpukan buku. Kuaci bercerita pada Kapsul, bahwa ketika pertama kali ia melihat sosok kurus berkacamata itu, jantungnya langsung berdegup empat kali lebih cepat. Ia yang biasanya santai menghadapi narasumber, menjadi gugup dan bicaranya gagap. Tapi—lagi-lagi berdasarkan cerita Kuaci—Arian sangat pengertian dan tidak meremehkannya. Singkat kata, Kuaci langsung terpesona pada pandangan pertama.
Pertemuan itu mengubah kebiasaan Kuaci. Dia jadi lebih suka menghabiskan waktunya di perpustakaan, sekadar mengintip dan memata-matai Arian yang sedang membaca atau mengerjakan tugas. Bahkan, Kuaci berhasil mempertahankan kegiatan “menguntit Arian” sampai tiga bulan lamanya. Di hadapan Kapsul, Kuaci dengan gamblang mengatakan Arian terlihat lebih tampan ketika sedang membaca buku. Tak sekadar menguntit, Kuaci pun jadi ikutan senang membaca buku karena Arian.
Tapi, Kuaci tak sadar bahwa sahabatnya, Kapsul diam-diam selalu murung di kebunnya. Kapsul merasa perhatian Kuaci teralihkan pada si kutu buku Arian.
Selama tiga bulan, semua berjalan baik-baik saja. Kuaci nyaman dengan posisinya sebagai pengagum rahasia. Tapi waktu mengubah kenyamanan itu. Arian akan pergi. Ya, Arian sebentar lagi akan lulus dari SMA bersama teman-teman seangkatannya. Kuaci panik, dan lagi-lagi Kapsul harus ada di sisinya, mendengarkan kesedihannya.
“Berikan dia kenang-kenangan, agar dia tidak lupa sama kamu,” Kapsul asal memberi saran.
Ide Kapsul sungguh cemerlang. Kuaci pun girang. Sementara Kapsul justru malah makin murung. Jangan tanya alasannya. Kapsul pun tak tahu.
Kuaci memutuskan. Syal kesayangannya beserta sepucuk surat akan didaulat jadi kenang-kenangan. Itu adalah syal kesayangan Kuaci. Tapi ia rela memberikannya pada Arian. “Betapa beruntungnya Arian, mendapatkan salah satu benda kesayangan Kuaci,” kata Kapsul dalam hati.
Sebelum ia memberikan surat itu pada Arian, Kuaci menunjukkan isi surat tersebut kepada Kapsul lebih dulu. Berharap dapat koreksi:
Kepada,
Arian Andriana
di perpustakaan
Akhirnya hari ini datang juga, hari di mana tulisan ini berada di tangan Kakak. Saya ingin Kakak membacanya dengan baik dan benar. Agar segala pesan yang ada di sini, tersampaikan dengan baik dan benar pula. J
Sempat terpikir untuk menyampaikan pesan ini secara langsung. Tapi ternyata sampai detik ini saya tak punya nyali. Saya terbiasa diarahkan makanya jadi minim inisiatif. Saya bukanlah orang yang pandai memulai, apalagi merangkai kata yang enak didengar secara spontan. Dari pada situasinya jadi aneh, saya pun memilih untuk menulis saja. setidaknya saya bisa mendokumentasikan semuanya.
Kak Arian yang keren dan rajin membaca buku, semua berawal ketika Pemred Pandupena menugaskan saya untuk membuat tulisan tentang perpustakaan sekolah, sebuah tempat yang jarang sekali dikunjungi secara rutin oleh kebanyakan siswa di sini, termasuk saya sendiri. Kakak memang tak terlalu populer, karena kakak selalu tersembunyi di balik tumpukan buku-buku perpustakaan. Tapi kemudian saya menemukan Kakak. Kita memulai obrolan atas alasan kepentingan wawancara. Kakak menjawab dengan sabar meski saya bertanya dengan segenap kegugupan. Terima kasih.
Setelah pertemuan itu, saya tak pernah berani menunjukkan wajah di depan kakak. Saya malu, tapi saya selalu memerhatikanmu dari kejauhan. Di sela kegiatan saya sekolah dan melaksanakan tugas liputan dan menulis di pandupena, saya selalu curi-curi waktu datang ke perpustakaan. Untuk melihatmu yang sedang membaca, diam-diam. Kamu mungkin tahu akan kelakuan saya, mungkin juga tidak. Tapi saya hanya ingin kakak tahu, bahwa di sekolah ini, pernah ada seseorang yang menyukaimu, yang mengagumimu. Itu adalah saya, Navisha alias Kuaci.
Mengapa seperti maling yang beraksi secara diam-diam? Karena bagi saya, kakak seperti gunung. Biarkan saya hanya memperhatikan kakak dari kejauhan. Karena semua gunung selalu terlihat biru dan indah hanya jika dilihat dari kejauhan. Maka, saya tak berminat mengusikmu, atau melangkah sejengkal lebih dekat padamu. Mungkin inilah yang disebut sikap pengecut. Sejauh ini, kakak bertindak cukup baik sampai akhir. Kakak tetap berdiam diri dan membiarkan saya memerhatikan pemandangan biru yang damai. Terima kasih.
Maaf, karena saya bersikap lancang begini. Syal oranye yag membungkus surat ini, semoga bisa menebus kesalahan saya yang telah lancang menyatakan perasaan ini kepada kakak. Saya berterima kasih, karena keberadaan Kakak membuat saya rajin mengunjungi perpustakaan, rajin membaca, sekaligus merasa bahagia bisa melihat kakak yang tengah membaca.
Oiya, melalui surat ini pula, saya berdoa agar kakak selalu bahagia, dan tetap rajin membaca. Kakak mungkin akan melanjutkan sekolah ke universitas yang berkualitas, semoga menjadi mahasiswa yang cerdas dan bijak.
-Kuaci-
Setelah membaca surat itu, Kapsul bingung harus berkata apa. Ia tak bisa berkomentar apa-apa. Kapsul merasa makin muram, dan Kuaci terlalu bodoh untuk merasakan kesedihan sang sahabat. Kapsul merasa, mungkin ia hanya sedikit iri, karena perhatian Kuaci terhadapnya tercuri oleh keberadaan Arian.
***
Kuaci menarik napas dalam-dalam. Mengumpulkan keberanian, dan mengambil langkah pertama memasuki pintu perpustakaan. Ia tersenyum manis kepada Bu Wahani yang sedang membaca koran. Dengan segenap keberanian, ia memasuki ruangan dalam perpustakaan, lalu menemukan Arian—yang seperti biasa—sedang membaca buku.
Kuaci pun menghampiri Arian. Tanpa prolog, ia memberikan sepucuk surat bersama syal berwarna oranye yang membungkusnya—seperti yang sudah direncanakan.
***
“Sul, saya udah kasih itu surat ke Kak Arian.”
“Sip.”
“Meski awalnya malu, tapi saya lega, Sul. Kak Arian tidak marah, bahkan kelihatannya dia terharu.” Mata Kuaciberkaca-kaca.
“Sip.”
“Tapi saya pasti akan kehilangan dia, Sul.”
“….”
“Tapi kamu akan segera melupakannya, Ci, hahaha ….”
“Kok kamu ketawa?”
“Hahahahahaha ….”
“Ci, entah kenapa saya merasa lega. Kepada si Kutu Buku Arian, selamat tinggal. Terima kasih karena kepergianmu akan mengembalikan Kuaci pada saya. Kamu harus berterima kasih karena Kuaci adalah satu-satunya orang yang menyadari keberadaanmu. Di tengah ketersembuyianmu di balik tumpukan buku perpustakaan, Kuaci perlahan datang dan sabar mengamatimu. Makanya, hanya Kuaci yang kemudian menjadi satu-satunya orang yang mengucapkan selamat tinggal pada kamu,” kata Kapsul dalam hati.
“Sul, kamu kok aneh gitu?”
“Kamu nggak perlu ngerti, kamu hanya perlu berada di sisi saya,” kata Kapsul polos, sedangkan Kuaci bengong.
-Bandung, 05112013-
Cerpen 3: Mengejar Senyum Melisa
Oleh Sonia Fitri
Selamat pagi dunia. Seperti pagi-pagi sebelumnya, pagi ini juga setia menyuguhkan sejuk dan khidmat. Aku terbangun dengan penuh rasa syukur, karena Tuhan masih memberiku nafas dan energi untuk beranjak dari kasur. Segera, aku mengumpulkan nyawa, membasuh muka, shalat shubuh, diakhiri dengan berdoa.
Setelah kegiatan wajib itu selesai, waktu sudah menunjukkan pukul 05.30. Itu artinya, aku harus ganti baju, pakai kaos, celana training, kaus kaki dan sepatu. Kegiatan lari pagi pun dimulai. Rute lari pagi lumayan panjang.
Aku harus menyusuri dua komplek perumahan, melintasi jalan raya serta melewati sungai dan jembatan. Barulah kemudian aku bisa sampai ke taman kota, mencari tukang bubur ayam langganan untuk mengganjal perut yang lapar.
Ada ragam tantangan yang harus kuhadapi ketika lari pagi. Yang paling menyebalkan adalah gonggongan anjing di komplek perumahan itu. Padahal aku cuma numpang lewat, tapi mengapa mereka selalu menyalak gelisah dan galak. Mungkin dipikirnya aku itu maling atau penjahat kelas kakap.
Meski masih pagi buta, jalan raya selalu ramai. Orang-orang berlomba-lomba berangkat pagi agar tidak terlambat masuk kerja atau sekolah. Kalau sudah begini keadaannya, macet jalanan tak terhindarkan. Bunyi klakson kendaraan sahut-sahutan. Bising. Belum lagi asap knalpot yang menyerang udara. Sungguh menyesakkan dada.
Rute terakhir adalah jembatan. Di bawahnya ada sungai yang mengalir deras, tapi airnya berwarna coklat dan berbusa. Sungai itu mengalirkan limbah beserta sampah-sampah busuk entah ke mana. Sekadar informasi, jembatan ini cukup angker dan kerap jadi lokasi kriminal di malam hari. Kerap terdengar berita penjambretan, begal, perampokan, bahkan pemerkosaan di jembatan ini. Orang-orang yang putus asa juga menjadikan jembatan ini sebagai lokasi favorit untuk bunuh diri.
Setiap pagi aku kencang berlari melewati tiga lokasi itu. Doakan aku, kawan, semoga tubuhku tetap sehat meski momen lari pagiku harus dilewati dengan keadaan serbamenyebalkan di setiap harinya. Aku tidak bisa dan tidak mau ganti rute. Karena itu adalah lokasi tercepat menuju taman kota, sehingga aku bisa berhasil mengejar senyum Melisa.
Mari kuperjelas. Aku rutin melakukan lari pagi setiap hari bukan karena ingin punya tubuh yang bugar, bukan pula ingin menjaga kesehatan. Melisa adalah satu-satunya alasan mengapa aku punya energi untuk pergi berlari melewati komplek perumahan, jalanan serta jembatan, untuk kemudian bisa melihat senyumnya mekar di taman kota.
Melisa bukan siapa-siapa untukmu, tapi ia sangat berarti untukku. Ia merupakan sahabat terbaikku, meski sepertinya ia hanya menganggapku teman biasa, yang kebetulan satu kelas ketika kita sama-sama duduk di bangku SD. Melisa berhak menjadi sahabatku, sebab ia punya senyum paling manis sedunia. Disadarinya atau tidak, ia telah menyuntikkan semangat dan kebahagiaan yang melimpah setiap pagi berkat senyumannya itu.
Kemungkinan besar, ia tak menyadarinya. Pun, ia tak menyadari sikap dan perlakuanku yang mengistimewakannya. Tidak mengapa. Klaim sahabat ini hanya sepihak dan ia tak perlu repot-repot memberi balasan. Sebagai sahabat, tugasnya hanya satu, yakni memberikan senyumannya pda dunia setiap pagi. Dari senyuman yang indah itu, aku hanya diam diam mengambil sedikit pesonanya, agar duniaku juga bisa terlewati dengan luar biasa.
Bagaimana mungkin seseorang bisa menganggap manusia lain sebagai sahabatnya, hanya karena senyumannya? Entahlah, tapi aku bukanlah psikopat yang berniat menguntit apalagi mengancam keselamatan jiwanya. Aku hanya senang mengapresiasi keindahan ciptaan Tuhan, sebagaimana juga kamu yang senang dengan indanya bunga yang bermekaran, atau suka menatap syahdunya matahari yang tenggelam.
Begitulah aku ketika mengapresiasi senyum Melisa. Bukankah sahabat tak harus menuntut apa-apa? Ketika satu sama lain tak saling mengganggu, justru yang satu memberi manfaat sementara yang lainnya merasa dapat manfaat, jalinan persahabatan bisa terbentuk kapan saja. Sesederhana itu, bukan?
Ketika sampai di taman kota, aku mendapati Melisa yang cantik memakai kaos warna biru. Dari pelipisnya mengalir peluh yang bening, sebening embun pagi yang terselip di semak-semak itu. Ia bersama teman-temannya sedang menunggu tiga mangkok bubur ayam yang barusan dipesan.
Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku juga sudah berada di lokasi yang sama dengannya. Aku duduk anteng di bangku yang lainnya, memesan bubur ayam juga, sembari memerhatikannya dari kejauhan.
Ketika pesanan bubur ayam datang, lihatlah, kawan! Senyuman Melisa merekah indah. Ia tersenyum pada Nenek tukang bubur sambil mengucapkan terima kasih. Senyuman itu lebih dari cukup untuk jadi penawar rasa lelahku setelah melewati rute lari pagi yang menyebalkan. Senyuman itu juga menjadi suntikan energi yang menguatkanku dalam beraktivitas seharian.
“Bambang!” Melisa tiba-tiba memanggil namaku. Membuyarkan lamunanku. Tak sekadar memanggil, ia bahkan menghampiriku, sembari membawa senyuman manis itu.
“Sombong ya, kamu!” katanya lagi.
Aku kebingungan. Apa ada yang salah denganku?
“Setiap pagi kita ada di tempat yang sama, tapi tidak pernah mengobrol apalagi menyapa,” lanjutnya.
Aku terkesiap. Apakah selama ini Melisa sadar akan keberadaanku?
“Maaf, aku takut mengganggu,” kataku dengan nada pelan.
“Tidak mengganggu,” katanya, masih tersenyum.
“Terima kasih,” jawabku.
“Tapi mungkin besok pagi dan pagi selanjutnya kita tidak akan bertemu di sini lagi, Bang,” katanya dengan tenang. Tapi pernyataan itu mampu membuat hatiku tersayat. Apa maksudnya?
Rupanya Melisa besok akan pindah rumah ke luar pulau. Ia akan mengikuti suaminya yang dinas di salah satu kota yang jauh.
Mendengar pernyataannya, duniaku rasanya mendadak runtuh. Aku membayangkan, tak akan pernah lagi menikmati pagi. Sebab Melisa akan pergi. Dan aku belum sempat berterima kasih. Tapi sahabat tak memerlukan ucapan terima kasih. Mereka hanya ingin selalu dikenang dengan kesan yang selalu positif.
Tapi pada akhirnya kuucapkan juga.
“Melisa, terima kasih atas senyumannya.”
Lantas Melisa sejenak tertegun. Lalu ia segera tersenyum seraya mengangguk senang.
-Bandung, 2009-
Cerpen 4: Logika Pelakor
Oleh: Sonia Fitri
Kasak-kusuk tetangga nyaring terdengar, berbisik nyinyir soal pelakor yang katanya lagi berkeliaran bebas di kampung. Obyek pembicaraan yang dimaksud yakni anak gadisnya Ajengan Jujun bernama Neng Rina. Ia merupakan gadis pendiam dan jarang sekali keluar rumah. Kemarin-kemarin ia masih jadi gadis muda yang cantik dan disegani karena berstatus anak ajengan. Tapi seketika ia berubah wujud jadi pelakor sehingga menuai cibiran tetangga.
Apa itu pelakor? Ini merupakan suatu istilah yang belakangan ini terdengar ramai di televisi, dipopulerkan oleh sejumlah tayangan infotainment, merujuk pada praktik perselingkuhan yang melibatkan kalangan artis. Pelakor adalah kepanjangan dari “Perebut Laki Orang”, atau ada juga yang menyebutnya “Perawat Laki Orang”.
Seperti diketahui, praktik poligami sangat tidak populer, bahkan dibenci oleh masyarakat modern, terutama kalangan perempuan, meski dalam agama dibolehkan. Masyarakat telah terbiasa dengan rumah tangga gaya monogami, di mana ada satu suami dan satu istri, lalu mereka membesarkan anak-anak yang lucu.
Kehadiran wanita idaman lain, atau wanita simpanan, atau apalah istilah yang beredar, adalah hal yang tercela, bahkan dalam banyak kasus menghasilkan konflik dan kehancuran rumah tangga. Praktik-praktik tersebut bisa melibatkan siapa saja, tak harus melulu selebritas.
Kembali ke urusan Neng Rina yang tengah dikatai pelakor oleh warga, ia dikabarkan akan menikah minggu depan dengan seorang dosen beranak satu yang baru saja menceraikan istrinya.
“Heran, kenapa pinangannya diterima? Nikah siri pula,” kata Ceu Odah sambil bibirnya manyun.
“Itulah kalau pertimbangannya sudah ke harta, jadi gelap mata. Tahu sendiri dosen itu statusnya PNS,” Ceu Isah menimpali.
“Jagain tuh suaminya, ibu-ibu! Sekarang pelakor bukan di TV aja, tapi udah masuk kampung,” Ceu Mimin menimpali.
Obrolan mereka berlangsung dari hari ke hari, tak kenal waktu, tak kenal tempat. Jelang pernikahan Neng Rina, cibiran-cibiran tetangga makin terdengar. Terlebih pernikahan mereka dilakukan secara tertutup, hanya disaksikan keluarga dan orang-orang terdekat saja. Tetangga tidak diundang.
Ajaibnya, Neng Rina yang notabene adalah mantan kekasihku, mengundangku untuk menyaksikan pernikahannya. Sehari sebelum ijab Kabul, ia mengirim pesan WatsApp, memintaku dengan sangat agar bisa menghadiri pernikahannya.
Aku jadi teringat tentang bagaimana kami saling jatuh cinta, menjalin hubungan yang sopan selama tiga tahun. Neng Rina adalah teman sekelasku ketika di SMA dulu. Anaknya cantik, sopan dan tidak banyak bicara. Hal yang paling aku suka darinya adalah kesederhanaannya.
Ia tak pernah keberatan dibonceng pakai motor butut. Ia juga selalu tersenyum meski aku hanya bisa membelikannya kerudung murahan untuk hadiah ulang tahunnya. Tapi kemudian hubungan itu harus berakhir karena Ayahnya tak suka denganku yang kala itu berstatus pengangguran. Di mana kerjaannya hanya luntang-lantung tidak jelas selepas lulus sekolah.
Entah bagaimana awalnya hingga kemudian Neng Rina jadi bulan-bulanan warga dengan status Pelakor. Mengapa istilahnya harus pelakor? Mengapa seolah-olah kesalahan atas kehancuran rumah tangga seseorang hanya ditujukan pada wanita?
Bagaimana dengan si lelaki yang katanya Dosen itu. Mungkin pada awalnya dia yang mulai menggoda Neng Rina. Mungkin juga sebenarnya Neng Rina tidak menginginkan pernikahan itu. Ia hanya menuruti keinginan ayahnya yang selalu egois. Memilih untuk berprasangka baik selalu lebih baik dari pada nyinyir dan mengotori mulut sendiri.
Mengapa harus dinamakan pelakor? Perebut Laki Orang. Adakah pada awalnya seorang suami memang milik istrinya. Logikanya apa hingga orang menganggap bahwa ada kepemilikan di antara dua orang yang menikah? Sebab menurutku, ketika dua orang menikah, mereka tetap punya independensinya masing-masing.
Sebelum atau sesudah menikah, mereka tetaplah orang yang punya kedaulatan dan pilihan sendiri. Mereka juga tentunya punya pilihan untuk tetap bersetia pada istri dan keluarganya, ataukah ingin menjalankan karma buruk dengan melakukan praktik perselingkuhan.
Kesesatan istilah pelakor juga tampak nyata, sebab praktik perselingkuhan itu melibatkan dua orang. Bukan hanya perempuan, tapi laki-laki juga harus dideteksi kesalahannya, jika mau. Tidak mungkin perempuan disebut “pelakor” kalau ia tidak kena rayuan, atau rayuannya disambut oleh suami orang.
Lantas aku bertanya-tanya lagi, di manakah logikanya istilah pelakor? Mengapa mulut para ibu-ibu itu terlalu jahat, padahal mereka sama-sama perempuan. Mereka juga mungkin punya anak atau saudara perempuan. Bukannya saling membela, mengapa memilih saling menjelek-jelekan.
Terlalu bising orang berteriak-teriak tentang pelakor. Padahal istilah itu sama sekali tidak ada dalam Kamus Bahasa Indonesia. Berbahasa saja mereka masih seenaknya, bagaimana mungkin mreka berani-berani usil dan menjadi hakim atas hidup orang lain. Mereka bahkan tidak tahu dan tidak mau tahu kalau misalnya Neng Rina membela diri dan memberikan klarifikasi suatu saat nanti.
Aku pun memutuskan untuk menghadiri pernikahannya. Bukan untuk mencari tahu fakta yang sebenarnya, lantas melakukan pembelaan atau justru ikut menyalahkannya. Aku hanya ingin bilang pada Neng Rina, bahwa apapun yang terjadi, aku akan selalu berdoa untuk kebahagiaan dan keselamatannya. Semoga dia bisa berumah tangga dengan baik dan benar, tanpa perlu tertekan dengan kasak-kusuk bising pelakor.
-Bandung, 11072018-
Cerpen 5: Perihal Mama Kuaci
Oleh Sonia FItri
Idealnya, tak ada sosok yang paling layak dipercayai seorang anak, kecuali bundanya. Bagaimanapun keadaannya, sosok bunda seharusnya selalu berada di sisi putra-putrinya. Kebahagiaan seorang bunda adalah ketika melihat anak-anaknya bahagia. Begitu pun kesedihannya, akan terasa jika anak-anaknya tengah dilanda durja.
Beruntunglah wanita yang diberi kesempatan Tuhan untuk menjadi seorang bunda. Karena, tak ada yang lebih terhormat, kecuali menjadi asisten Tuhan mengurus nyawa manusia. Hingga surga dihadiahkan berada di telapak kakinya.
Bunda adalah sosok yang dimuliakan Tuhan, begitulah pandagan setiap orang. Kuaci ingin meyakini semua itu. Toh keberadaanya di dunia tak lepas dari perjuangan hidup-mati Bundanya. Tapi, pemikirn ideal tentang sosok Bunda selalu jauh dari jangkauannya.
Ia juga punya sesosok bunda yang dipanggilnya dengan sebutan “Mama”. Sejak kecil hingga berusia sebelas, Mamanya menitipkan Kuaci di rumah orang tua suaminya alias neneknya. Kala itu Mama sibuk bekerja di ibu kota sebagai salah satu petinggi di perusahaan perbankan swasta.
Ketika ia diambil kembali untuk hidup dalam pengasuhan Mama, hubungan di antara mereka tidak lantas merapat. Ada canggung yang terasa, tak ada rindu yang terobati. Meski sudah empat tahun hidup satu atap bersama ayah dan dua adiknya, sosok Mamanya tetap terasa seperti orang asing baginya.
***
Kuaci sekali lagi ingin meyakini, bahwa sosok Bunda adalah mulia. Dan surga berada di bawah telapak kakinya. Tapi kemarahan atas kejadian hari ini membuatnya makin tak percaya.
“Jadi, mereka resmi bercerai hari ini?” Kapsul yang sedari tadi duduk di sebelahnya mulai bertanya.
“Ya,” jawab Kuaci singkat.
“Lalu?”
“Saya diminta memilih, mau ikut dengan siapa.”
“Lalu?”
“Saya memilih Ayah.”
Lalu hening hadir di antara mereka. Kapsul terdiam, begitupun Kuaci. Kapsul tengah membayangkan jika ia berada di posisi serupa dengan Kuaci. Selama ini, ia punya keluarga yang utuh dan bahagia. Ia punya ibu yang begitu disayanginya, peduli padanya. Ia tak bisa membayangkan, bagaimana perasaannya ketika harus mengalami perpecahan dalam keluarga.
Kapsul melihat air mata yang mulai mengalir di pipi Kuaci. Ia dengan sigap meminjamkan bahunya untuk jadi tempat bersandar. Semoga posisi ini bisa sedikit mengurangi beban pikiran yang sedang ditanggung Kuaci.
“Semua pilihan adalah terbaik, Ci, jadi entah kamu memilih ikut ayah atau mamamu, semua adalah pilihan terbaik, tidak perlu terlalu sedih atau merasa bersalah,” kata Kapsul sambil mengusap pundak Kuaci. Entah mengapa di momen seperti ini ia ingin sekali banyak bicara.
“Ci, apa kamu perhan dengar kisah Labu yang Malang?” Kapsul bertanya. Kuaci menggeleng. Masih menangis.
“Pada suatu hari, sebuah labu yang mungil menggantung di pohonnya. Ia setia bergantung hingga kemudian membesar dan membesar, lalu matang. Seharusnya ketika besar dan matang, si labu harus segera disambut, diraih, dipetik, tapi si petani lebih tertarik menuai buah ceri yang warnanya menyolok. Si labu terabaikan. Masa-masa matangnya telah usai. Si Labu yang malang membusuk dan akhirnya jatuh ke tanah.”
“Apakah ini akhir ceritanya?” Kuaci bertanya.
“Ya, begitulah akhirnya, Si Labu jatuh, karena sudah terlampau bosan, layu, busuk, terbuang. Menyatu dengan tanah. Menghilang menjadi humus. Si labu tak pernah terjangkau. Petani tak peduli.”
“Kasihan…”
“Apa kamu pikir aku seperti labu itu, Sul?”
“Mengapa kamu berpikir begitu?”
Kuaci lalu bangun dari sandarannya di bahu Kapsul. Perlahan ia menjelaskan.
“Aku sejak lama tumbuh di bawah pengasuhan nenek, lalu setelah beliau meninggal, Mama dan Ayah mengambilku untuk meneruskan pengasuhan. Tapi di bawah pengasuhan mereka, aku merasa terabaikan, aku merasa bisa menghadapi semua masalah hidup sendirian, tapi aku tetap merasa jadi beban dan sama sekali tidak ada gunanya buat mereka.”
“Kamu berpikir terlalu jauh, Kuaci,” Kapsul menanggapi.
“Begitulah aku, ketika menggantungkan harapan pada Mama selama empat tahun lamanya. Harapan bahwa ia akan menjadi sosok ibu yang ideal tak terlaksana. Waktu telah membusukkan semuau penantian itu. Tak ada lagi harapan yang tergantung. Yang ada hanyalah labu yang tergeletak. Busuk,” lanjut Kuaci.
Kapsul benci mendengar penafsiran Kuaci terhadap kisah Labu barusan. “Sekarang dengarkanlah penjelasanku, Kuaci,” kata Kapsul tegas.
“Kamu seharusnya berhenti berharap tentang hal-hal ideal tentang siapapun, termasuk kepada Mamamu. Kita tidak pernah bisa mengendalikan, akan lahir dari ibu dan bapak macam apa, atau dari keluarga seperti apa. Bisakah kamu tinggal bersyukur saja, karena masih punya orang tua? Di luar sana, banyak anak yang dibuang di jalanan, tak jelas asal usulnya, tak terdeteksi orang tuanya.”
“Mama selingkuh, Sul! Ini bukan sekadar prasangka, tapi sudah tertangkap basah di depan mata kepala sendiri. Itu sungguh menyakitkan, mengecewakan!” Kuaci menangis lagi.
Kapsul jadi merasa bersalah karena telah menceritkan Kisah Labu yang Malang. Ia bukanlah orang yang pandai merangkai kata-kata manis yang menenangkan. Maksud dia dengan kisah labu itu, justru Kapsul tak ingin Kuaci seperti labu, yang lama menggantung harapan kepada sesuatu (mamanya) hingga harapan itu membesar, tapi pada akhirnya harapan itu tak terlaksana sehingga Kuaci berisiko jatuh dan membusuk.
Ia ingin Kuaci tak terlalu menggantungkan harapan. Sebab karena berharaplah, Kuaci pada akhirnya menemui kecewa. Ia mendapati Mamanya seorang yang dingin dan cuek terhadap dirinya dan keluarganya. Ia juga menyaksikan Mamanya yang menemukan kehangatan dalam pelukan lelaki lain.
Kapsul ingin meminta pada Kuaci agar tak terlalu keras menyalahkan keadaan Mamanya. Seburuk apapun, orang tua tetaplah orang tua. Sosok mereka wajib dihormati dari disayangi oleh anak-anaknya. Bahkan ketika orang tua berbuat keliru dan memalukan, anaknya wajib mengingatkan dengan cara yang sopan, untuk selanjutnya terus mendoakan kesehatan dan keselamatannya.
Tapi sepertinya Kuaci masih dalam keadaan emosi tingkat tinggi. Tugas Kapsul sekarang adalah menenangkannya, membuatnya berhenti menangis. “Tegarlah, Kuaci,” bisik Kapsul sembari merangkul.
-Bandung, 2018-